15/12/13

Keindahan yang Menjadi Biasa

Anak pengusaha kaya itu tertawa. Di matanya tidak terbesit kesedihan sedikit pun. Senyumnya lepas tanpa tertahan. Matanya berbinar di bawah cahaya lilin-lilin natal yang menerangi ruangan itu. Dari bawah jendela, seorang anak berbaju kumal memandang dengan setengah tersenyum - setengah berharap dan setengah terbawa dalam kenikmatan. Bila ia benar-benar berharap, mungkin saja cahaya lilin itu bisa masuk pula ke dalam hatinya, disertai dengan kehangatannya. Mungkin saja, kehangatan itu bisa ia bawa untuk bertahan di tahun baru yang dingin dan sendiri.

Tiba-tiba, seakan seperti angin membesit mematikan api kecil, senyum sumringah digantikan dengan air mata.

"Oh, Ayah! Bukan ini yang aku minta! Apa Ayah tidak melihat daftar yang sudah aku buat?" ujar anak itu sebal melihat boneka panda di tangannya. Bukan Santa, melainkan Ayah. Rupanya, "Santa" sudah memperkenalkan identitasnya yang sebenarnya.

Di akhir hari, hadiah yang mengecewakan tersebut diletakkan di atas tong sampah luar. Sruk, sruk, sruk. Dari kejauhan truk besar berwana hijau melakukan tugasnya. Tangan-tangan kecil dengan sigap meraih si panda dan mendekapnya dalam kain pakaian yang terlihat seperti karung goni dikontraskan dengan bulu halus si panda.

Mata cokelat yang berkaca-kaca, di figura oleh wajah yang kurus, menatap ke langit sore menjelang malam. Terima kasih, seakan ungkapnya oleh mata polos yang melihat panda tersebut seperti harta tak terbayang jumlahnya.

"Ini adalah natal terbaik yang pernah aku rasakan," bisiknya, sebelum berlekas ke sebuah rumah reyot untuk menceritakan kabar baik ini kepada teman-teman seperjuangannya. Mungkin untuk berbagi pula. Karena kehangatan yang ia telah dapatkan di dalam hatinya, tentu dapat tersalur...



Saat saya datang ke gereja untuk mengikuti acara kebaktian sore, ada rasa yang mengusik hati saya. Biasanya, saya bersama keluarga hadir pada kebaktian pagi, dan itu adalah idealnya bagi saya. Sayangnya, rutinitas itu memang harus disertai dengan fleksibilitas. Hari ini, masalahnya adalah adik saya yang memilih untuk datang sore. Kami pun setuju saja agar sekeluarga tetap bisa berangkat dan mengikuti kebaktian bersama. Alhasil, karena sudah sore dan akibat menghabiskan waktu seharian membaca di kamar tidur, saya jadi aras-arasan.

Langkah ke gereja bukanlah langkah sepenuh hati seperti seorang hamba yang menyambut Tuannya. Atau lebih baik, seorang tamu yang diundang untuk bertemu dengan Presiden. Saat hati tidak di situ, kebosanan pun muncul. Selama pujian, saya mencoba untuk berkonsentrasi. Tetapi mata saya seakan mempunyai kehendak sendiri dan memilih untuk lebih berfokus pada lingkungan saya.

Pada saat itulah saya melihat seorang gadis membawa kamera yang mendekati tangga di depan informasi untuk mengambil foto mimbar. Saya pun geli. Saya jawil Ayah saya yang berada di sebelah kanan saya.

"Oh, mungkin itu dari luar kota. Yang dari kota lain, kalau pertama kali melihat gereja ini pasti senang, lo. Bukan hal yang biasa bagi mereka," jawab beliau.

Saya pun terhenyak. Lagu yang saat itu dinyanyikan adalah "Bless the Lord, O My Soul". Lagu yang saya akui dengan jujur sering membuat saya tidak senang hati karena keseringannya dinyanyikan dan liriknya yang kurang bervariasi. Suasana gereja yang ber-AC dan sejuk, serta dengan pencahayaan yang selama ini tidak pernah saya apresiasi pun seakan terasa lebih dari biasanya, seperti mau berkata pada saya, "Hey, aku di sini!"

Dentuman dari drum yang seringkali membuat saya mau tidak mau mengikuti pujian - karena saya sukar berkonsentrasi mengerjakan hal lain dalam suara keras - mulai saya lihat (atau dengarkan) dua kali. Tarian gereja, yang seperti perkedel dan tempe pada hidangan soto - artinya, wajib dan suatu kesatuan -, menjadi bahan apresiasi saya kembali.

Wow, betapa beruntungnya saya, seorang Kristen yang diberi fasilitas untuk kegiatan agamawi sedemikian rupa. Apakah selama ini saya seperti memandang sebelah mata karya Tuhan yang membuat berdecak orang macam Afshin Javid?

Bila Anda seperti saya, mungkin Anda sering menemukan diri Anda di posisi kejenuhan, dimana dunia sekitar terasa abu-abu semuanya. Mungkin itu juga dipengaruhi dengan rintangan UN dan Try Out yang akan saya hadapi ke depan. Tapi tetap saja, mungkin kita perlu berhenti sejenak, amati dan ganti lensa kacamata yang sudah buram tersebut.

Seringkali di Twitter banyak orang yang mengatakan, "Di dunia ada lebih dari 7 milyar orang, jangan depresi karena 1 orang saja," mengenai saran putus cinta. Yah, bukan hanya cinta saja sih. Dunia diciptakan begitu beragam, begitu berwarna dan unik. Setiap orang dengan intriks dan misterinya sendiri. Sebuah tempat, seperti gereja yang dalam cerita saya, dapat menyimpan banyak hal-hal yang seringkali kita terlalu "sibuk" untuk melihat. Seperti cerita yang pertama juga, sebuah sampah di tangan si A menjadi hal yang berharga di tangan si B.

Koran dan berita di televisi mungkin lebih sering menyiarkan berita yang tragis. Korupsi, misalnya. Tetapi, mungkin ada cara untuk melihatnya dari kacamata positif. Bukankah lebih baik korupsi terungkap sedemikian walaupun membuat politik bangsa ini terlihat jorok dan amoral, dibandingkan dengan korupsi yang tertutup tanpa expose, yang akhirnya dapat meledak di wajah bangsa yang bahkan tidak menduganya?

Hiasan natal di bulan Desember ini berkelap-kelip, mencahayai berbagai tempat. Biarlah pikiran kita pun tidak lepas dari cahayanya. Sehingga natal tahun ini menjadi natal yang penuh dengan kebahagiaan.

1 komentar: